Di depan rumah saya terdapat kantor RW, tempat yang asyik untuk ngobrol-ngobrol para bapak-bapak, tempat posyandu para ibu-ibu, dan tempat nongkrong serta mabar (main bareng game online) bagi anak-anak. Letaknya yang di samping masjid menjadikan kantor RW semacam pusat dari kegiatan di lingkungan saya. Plusnya di depan rumah jadi aman dan ramai karena di kantor tersebut menjadi pangkalan bagi tenaga keamanan yang standby menjaga lingkungan, sehingga seakan menjadi penjaga rumah kami juga hehe. Namun negatifnya ada pada saat anak-anak nongkrong. Bisa dipastikan, mayoritas anak-anak tersebut ngobrol dan bercanda-canda serta komunikasi selama mabar bukan dengan bahasa-bahasa baku, atau bahasa halus selayaknya antara anak kepada orangtua atau gurunya. Mereka menggunakan bahasa-bahasa kasar yang menjadi menu ucapan mereka sehari-hari.
Sebut saja rupa-rupa ungkapan kasar yang bisa ditemui sehari-hari, hampir pasti ada di kantor RW tersebut. Kami tentu tidak bisa menyalahkan karena tidak bisa bertindak secara langsung, mungkin paling jauh ketika ada Ibu saya mendengar langsung maka akan langsung dihardik. Maklum beliau guru BP di sekolahnya, jadi nalurinya sudah otomatis terbentuk menemukan anak-anak macam tak tahu sekolah mulutnya.
Nah, di sinilah salah satu faktor paling berat menurut saya terhadap pengasuhan anak kami. Bayangkan ketika asik bermain balon di ruang tamu, tiba-tiba terdengar dengan keras kata-kata "hewan najis berkaki empat". Atau dasar "tidak pintar". Hingga membentak-bentak antar mereka, yang mungkin saja tarafnya sudah nyaris baku hantam. Saya yakin ketika anak-anak tersebut mengucap kata-kata itu, anak saya mendengar. Mending kalau hanya sekedar mendengar, kalau mencerna dan disimpan di memorinya? Suatu saat kata tersebut bisa saja muncul tanpa tedeng aling-aling. Contohnya ketika tak ada angin dan hujan anak saya menjawab ucapan ibunya dengan kata-kata "hewan najis berkaki empat yang suka di kubangan". Langsung naik lah emosi kami saat mendengarnya. Dari mana anak ini dengar? Padahal tontonan dia kami sangat jaga, bahkan kata-kata "anjing" di film kartun telah kami selalu sounding untuk menyebutnya dengan kata-kata "bingo", salah satu karakter di film kartun yang kadang dia tonton.
Begitu pula dengan sikap tak sopan yang berusaha dijaga, di mana paling penting adalah dengan mencontohkan sikap yang lembut dan baik hati secara langsung. Ucapan maaf, terimakasih, tolong sudah kami biasakan sejak dia masih bayi hingga sekarang. Nada bicara selalu kami arahkan untuk jangan tinggi-tinggi, emosi kami redam dengan menyuruh dia istigfar sambil mengurut dada. Memang satu dua kali dia lepas kontrol, tetapi setelah itu kami biasanya langsung berbicara dengan dia dengan memegang tangannya. Kemudian berakhir dengan saling bermaafan dan berpelukan.
Dua hal ini yang saya rasa bisa kami lihat hasilnya, terutama bila melihat tingkah dia dengan anak-anak lain. Bukan membangga-banggakan anak kami, hanya sekedar untuk melihat bagaimana anak lain bersikap dan bersosialisasi, untuk kemudian kami jadikan catatan untuk ke depannya demi masa depan anak saya yang lebih baik.
Demikian.